banner 728x250
Opini  

Korupsi dan Celah Hukumnya

Berita76.Com
banner 120x600
banner 468x60

(Sebuah Perspektif Sosiological Jurisprudence)

Oleh: Davianus Hartoni Edy, Sarjana Hukum Fakultas Hukum Darma Cendika Surabaya

banner 325x300

Wacana pemberantasan korupsi di Indonesia rupanya masih perlu diperdalam dan diperkaya lagi, baik secara teknis maupun ideologis. Terbukti belakangan ini perilaku korup bukannya meredah malah semakin eksis, bahkan tanpa tedeng aling-aling juga dilakukan oleh pejabat negara sekelas asisten presiden (Menteri). Entah momen apa yang ingin dimanfaatkan, faktanya peristiwa itu bertepatan setelah berlakunya revisi UU KPK yang dinilai melemahkan KPK atau bisa juga akibat lemahnya seleksi dan verifikasi yang dilakukan terhadap penggunaan dana sosial selama penanggulangan pandemi covid19. Yang pasti adalah dalam tempo singkat 3 orang Menteri era Kabinet Indonesia Maju, ditahan KPK untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana korupsi.

Friksi tentang penerapan hukuman pidana maksimal atau hukuman mati bagi koruptor, ternyata masih menyisahkan celah hukum yang menimbulkan perdebatan, ketika secara mekanis penafsiran hukum atas suatu peristiwa korupsi dapat diterjemahkan sebagai bentuk pidana penyuapan atau gratifikasi terhadap pejabat. Contohnya, ketika pejabat menerima imbalan dari proyek tertentu yang dipercayakan kepada kontraktor, dapatkah diklasifikasikan sebagai ‘perampokan uang negara’ atau hanya sekedar bentuk ucapan terima kasih dari pihak pelaksana proyek, apalagi jika pemberiannya dilakukan setelah proyek dilaksanakan?

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. (Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Sekali lagi, hukum dituntut untuk menutup celah ini dengan diktum yang tepat dan jelas. Bahwa pada hakikatnya gratifikasi tidak dapat dikaburkan oleh sebuah batasan tempus delictus (delik waktu terjadinya tindak pidana), tetapi apapun yang berhubungan dengan proyek penggunaan uang negara, tidak boleh mendatangkan keuntungan secara tidak wajar bagi pihak pemberi maupun penerima proyek, entah itu dilakukan di awal maupun setelah pelaksanaan proyek. Sebab, sederhananya jika patokannya adalah waktu, maka pelaku pidana korupsi dapat mengakalinya dengan menerima upeti tersebut setelah proyek selesai.

Dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibunyikan bahwa: Ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama duapuluh (20) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.- (Dua ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.- (Satu Milyar Rupiah)”.

Ayat (2): “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.

Penekanan pada Pidana Mati, pada konteks tertentu pun dianggap hanya menjadi slogan, ketika korupsi sejumlah dana darurat bermutasi menjadi hanya sebuah perbuatan gratifikasi karena dilakukan oknum setelah sebuah proyek dilaksanakan. Secara lebih gamblang dapat diartikan bahwa, walaupun tujuan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri dilakukan dalam kondisi tertentu (pandemi covid19), sejauh tidak dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, atau dengan kata lain lebih terpenuhinya suatu perbuatan hukum pada tindak pidana yang berbeda (gratifikasi), maka pelaku pidana korupsi akan mendapatkan sanksi yang ringan.

Dengan demikian pelaku dapat lolos dari ancaman hukuman berat akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu (pandemi) tersebut, walaupun faktanya adalah pelaku memang melakukan tindak pidana korupsi namun kejahatan tersebut diskenariokan sedemikian rupa sehingga yang muncul dipermukaan dan dapat dijangkau hukum hanya perbuatan gratifikasinya saja.

Celah hukum inilah yang kerapkali dimanfaatkan untuk memutarbalikkan fakta korupsi yang terjadi, dengan kalkulasi strategis; jika apes, konsekuensi hukumnya akan ringan-ringan saja. Oleh sebab itu, fakta adanya celah hukum yang dimanfaatkan seperti ini seharusnya mendapatkan revisi yang tegas dan segera, demi terwujudnya masyarakat dan negara bebas korupsi di Indonesia, atau minimal ada perbaikan pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Tujuan finalnya tentu saja berkaitan dengan pemerataan pembangunan nasional yang semakin menyentuh lapisan terbawah rakyat Indonesia.

Korupsi dalam perspektif Sosiological Jurisprudence

Secara proporsional, korupsi sebenarnya sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (sebelum berlakunya putusan MA yang membatalkan PP Nomor 9 Tahun 2012), karena perampokan uang negara memiliki dampak negatifnya yang masif dan terasa bagi seluruh rakyat Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, sudah seharusnya setiap Tindak Pidana yang dengan sengaja berakibat merugikan keuangan negara dan memperkaya diri sendiri, dapat diklasifikasikan sebagai Tindak Pidana Korupsi. Persepsi ini perlu disepakati secara legal-komprehensif sebagai bentuk pemahaman hukum atas dinamika yang terjadi di masyarakat. Indonesia sudah cukup tertinggal dalam hal modernisasi akibat perilaku koruptif sebagian pejabat selama ini, oleh karenanya perlu ada proses adaptasi yang tepat antara hukum dan kebutuhan masyarakat untuk lebih maju. Namun entah dengan alasan apapun, pemberlakuan putusan MA yang praktisnya mengurangi ancaman hukuman bagi koruptor, seolah-olah memberikan angin segar bagi calon-calon koruptor di masa yang akan datang.

banner 325x300