Opini
Oleh: Petrus Selestinus
( Koordinator TPDI & Pergerakan Advokat Nusantara)
Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri dalam persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Terdakwa Johny G. Plate, dalam kasus dugaan Tindak Pidana korupsi penyediaan Menara BTS 4G Kominfo, yaitu menegur Terdakwa Johny G. Plate dan Penasehat Hukumnya (PH) dengan pernyataan bahwa “jangan anggap Pengadilan Alat Politik”, merupakan pelanggaran terhadap Hak Ingkar Terdakwa.
Sikap Ketua Majelis Hakim terhadap Terdakwa Johny G. Plate dan Penasehat Hukumnya (PH) dengan pernyataan bahwa “jangan anggap Pengadilan sebagai Alat Politik, jelas melanggar Hak Ingkar Terdakwa Johny G. Plate yang dijamin oleh pasal 52 KUHAP dan oleh pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Di sini nampak Ketua Majelis Hakim sudah mengambilalih hak dan wewenang Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena setelah Terdakwa Johny G. Plate dan PHnya membacakan eksepsi, maka kewenangan untuk mengomentari Eksepsi Terdakwa dan PH berada di tangan JPU, bukan porsi Ketua Majelis Hakim.
Ketua Majelis Hakim seharusnya setelah Eksepsi Terdakwa dan PH dibacakan, bola itu dilempar ke JPU dengan memberikan kesempatan kepada JPU untuk memberikan tanggapan, bukan malah Ketua Majelis Hakim lalu membuat komentar yang menyudutkan Terdakwa dan PHnya, secara tidak etis.
ATURAN MAIN YANG BAKU
Ini adalah aturan main dalam Hukum Acara yang sudah baku dan menjadi asas dalam hukum Acara Pidana. Karena itu wajib ditaati, tidak saja oleh Hakim tetapi juga oleh semua pihak yang terlibat dalam beracara di sidang Pengadilan Pidana.
Jika saja belum apa-apa Ketua Majelis Hakim sudah membatasi hak-hak terdakwa, tanpa dasar hukum, maka pandangan Terdakwa dan PHnya bahwa Pengadilan menjadi alat politik menjadi tak terbantahkan, karena di sini Hakim tidak menunjukan netralitasnya, melainkan telah melakukan tindakan sewenang-wenang yang dapat dikategorikan sebagai telah mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinannya mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Padahal di dalam pasal 52 KUHP dan 158 KUHAP, ditegaskan tentang Hak Ingkar Terdakwa dan larangan di mana Hakim dilarang menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Kecenderungan sikap Ketua Majelis Hakim dengan membatasi hak ingkar Terdakwa dan PH merupakan sinyal dari Ketua Majelis Hakim yang memberi pesan di mana Pengadilan menjadi alat politik, sebagaimana didalilkan oleh Terdakwa dan PHnya.
Padahal di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilalu Hakim terdapat larangan yaitu :
CATATAN REDAKSI :Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan /atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami,sebagaimana diatur dalam pasal (1) ayat (11) dan (12) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Artikel/berita dimaksud dapat dikirim melalui email : berita76gmail.com atau ke no kontak : +62 813 3982 5669 / +62 812 3646 2309.